JAKARTA - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu menjatuhkan sanksi peringatan keras dan memberhentikan Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman. DKPP menilai Arief melanggar kode etik lantaran menemani komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) saat Evi diberhentikan oleh DKPP.
"Menjatuhkan sanksi peringatan keras terakhir dan pemberhentian dari jabatan Ketua KPU kepada teradu Arief Budiman selaku Ketua KPU sejak putusan ini dibacakan," kata Ketua DKPP Muhammad membacakan putusan pada hari ini, Rabu (13/1/2021) dikutip dari Tempo.co.
Anggota DKPP Didik Supriyanto mengatakan menerima pengaduan terkait dugaan pelanggaran etik oleh Arief Budiman. Arief dilaporkan lantaran menemani Evi Novida Ginting Manik yang telah diberhentikan DKPP pada 18 Maret 2020 untuk mendaftarkan gugatan ke PTUN Jakarta.
Dalam persidangan, kata Didik, Arief menyatakan kehadirannya di PTUN Jakarta pada jam menjelang makan siang tidak dimaksudkan untuk menemani Evi mendaftarkan gugatan. Gugatan itu telah didaftarkan Evi dan kuasa hukumnya secara elektronik.
Namun Arief mengaku kehadirannya sekadar memberi dukungan moril, simpati, dan empati karena telah lama bersahabat. Arief juga menyatakan keberadaan di PTUN tidak sebagai ketua KPU yang merepresentasikan lembaga sebab pada hari yang sama sedang menjalankan work from home (WFH).
DKPP menyatakan sangat memahami ikatan emosional yang kuat antara Arief dan Evi yang terbangun dari kesamaan profesi dan merintis karier dari bawah sebagai penyelenggara pemilu, hingga sama-sama menjadi anggota KPU periode 2017-2022.
"Namun, ikatan emosional tidak sepatutnya menutup atau mematikan sense of ethic dalam melakoni aktivitas individual yang bersifat pribadi karena di dalam diri teradu melekat jabatan ketua KPU merangkap anggota KPU yang tidak memiliki ikatan emosional dengan siapa pun kecuali ketentuan hukum dan etika jabatan sebagai penyelenggara pemilu," ujar Didik.
Menurut DKPP, Arief seharusnya memposisikan diri dalam tempat dan waktu yang tepat di ruang publik sehingga tak terjebak dalam tindakan dan perbuatan yang bersifat personal dan emosional. Tindakan personal emosional dengan hadir di PTUN itu dinilai berimplikasi menyeret KPU pada kesan pembangkangan dan tak menghormati putusan DKPP memberhentikan Evi Novida yang bersifat final dan mengikat.
Didik mengatakan hal itu pun sesuai ketentuan Pasal 458 ayat (13) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mempertegas tafsir bahwa putusan DKPP bersifat final dan mengikat terhadap Presiden, KPU, dan Bawaslu.
"Kehadiran teradu dalam setiap kesempatan di ruang publik mendampingi Evi Novida dalam usaha memperjuangkan haknya menyebabkan KPU secara kelembagaan terkesan menjadi pendukung utama dalam melakukan perlawanan terhadap putusan DKPP," ujar Didik.
DKPP memerintahkan KPU untuk melaksanakan putusan pemberhentian Arief paling lama tujuh hari sejak putusan dibacakan. DKPP juga memerintahkan Bawaslu untuk mengawasi pelaksanaan putusan tersebut.
Evi Novida Ginting Manik sebelumnya diberhentikan DKPP lantaran dinilai kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu. Kasus ini terkait dengan perubahan perolehan suara Hendri Makaluasc dan Cok Hendri Ramapon, keduanya calon legislator Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kalimantan Barat dari Partai Gerindra.
Setelah diberhentikan, Evi kemudian menggugat ke PTUN Jakarta. Gugatannya dimenangkan dan ia kembali menjabat sebagai komisioner KPU kendati Presiden Joko Widodo sudah menerbitkan Keputusan Presiden memberhentikan Evi.
Menanggapi putusan DKPP memberhentikan Arief, Evi Novida menyatakan pihaknya masih menunggu salinan putusan. Dia berujar KPU akan menggelar rapat pleno setelah mempelajari putusan itu.
"Kemudian akan dijadwalkan untuk mengambil keputusan apakah akan dilaksanakan atau tidak putusan DKPP tersebut," kata Evi kepada wartawan, Rabu (13/1/2021).(***)
Posting Komentar