BATUSANGKAR - Meskipun kasus penemuan mayat remaja dalam karung goni pada Rabu (19/2) pekan lalu sempat menggemparkan, sejumlah Anak Baru Gede (ABG) tetap nekat berkeluyuran di malam hari.
Hal ini terbukti ketika petugas dari Dinas Satpol PP Damkar Tanahdatar mengamankan dua remaja di bawah umur di Lapangan Cindua Mato (LCM) pada Minggu (23/2) dini hari. Ironisnya, kedua remaja tersebut diduga tengah menunggu pelanggan.
“Dari beberapa ABG yang kita tertibkan Minggu dini hari, ditemukan dua orang yang terlibat dalam pelanggaran norma asusila alias menjual diri,” ungkap Kabid Penegakan Perda dan Pembinaan PPNS Dinas Satpol PP Damkar, Elfiardi, Minggu (23/2) sore seperti dirilis padek.com.
Dua remaja tersebut berinisial H (17) dan G (14), yang keduanya masih tergolong dalam Generasi Z (Gen Z). Kepada penyidik Satpol PP, mereka mengaku telah berulang kali melayani pria hidung belang. Bahkan, salah satu dari mereka merupakan eks pelajar Sekolah Luar Biasa (SLB) yang seharusnya mendapatkan perlindungan.
Saat dipanggil ke Kantor Satpol PP, orang tua kedua remaja ini mengaku sudah tidak mampu mengendalikan anak mereka. Oleh karena itu, mereka setuju agar anak-anaknya dikirim ke Panti Andam Dewi Arosuka, Kabupaten Solok, untuk mendapatkan pembinaan lebih lanjut.
Selain melakukan razia terhadap remaja yang keluyuran di malam hari, petugas Satpol PP juga menertibkan tempat hiburan malam di Nagari Simpuruik. Beberapa tempat hiburan masih beroperasi melewati batas waktu yang ditetapkan dalam Perda, yaitu pukul 24.00 WIB. Pemilik usaha berdalih bahwa mereka memiliki kesepakatan dengan pihak nagari untuk beroperasi hingga pukul 03.00 WIB.
“Kesepakatan ini jelas bertentangan dengan aturan hukum. Berdasarkan Pasal 1 huruf c dan Pasal 44 Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Trantibum, jam operasional usaha hiburan di Tanahdatar dibatasi dari pukul 08.00 WIB hingga pukul 24.00 WIB,” tegas Elfiardi.
Dalam salah satu tempat hiburan, petugas juga menemukan beberapa pria tengah mengonsumsi minuman keras berkadar alkohol tinggi. Pemilik usaha dijelaskan bahwa sanksi administratif bagi pelanggaran miras adalah denda Rp5 juta atau sanksi pidana dari Pengadilan Negeri.
Elfiardi juga mengungkapkan bahwa kasus prostitusi remaja ini ibarat fenomena gunung es. Pergerakan mereka semakin sulit dideteksi karena memanfaatkan teknologi untuk bertemu pelanggan, seperti aplikasi atau komunikasi seluler. Bahkan, ada indikasi keterlibatan kelompok LGBT dan perantara atau germo dalam praktik ini.
“Banyak orang tua yang sudah menyerah dalam mengurus anak mereka. Oleh karena itu, peran keluarga, masyarakat, dan tokoh adat sangat diperlukan untuk mencegah permasalahan sosial ini. Kami sebagai petugas hanya bertindak dalam penegakan hukum, sementara pencegahan harus menjadi tanggung jawab bersama,” pungkasnya.(*)
Posting Komentar